The Spice Islands tak hanya berbumbu, ia menyisakan pedas
di lidah dan membuat rasa penasaran yang besar untuk mengenal kira-kira bumbu
apa yang dipakai untuk meracik keingintahuanmu terhadap perihal simbol yang
nantinya akan menghubungkanmu juga untuk mengenal lebih lanjut dengan sejarah Maluku. Beberapa postingan yang
diikuti oleh Molucca Project baik di laman instagram @thespiceislands maupun di page facebook The Spice Islands berisikan banyak hal menarik. Salah satunya adalah hashtag #TauKaTrada yang
sering dipakai untuk menceritakan tentang fakta-fakta sejarah Maluku—yang
barangkali selama ini abai dari kalangan sebagian orang muda Maluku. Tapi yang
menarik dari The Spice Islands adalah cara penyajian informasi sejarah tersebut
yang ringan dan enak untuk dibaca. Ketika ditanya, kenapa The Spice Islands
tidak membuat satu situs web, mereka menjawab bahwa sejauh ini instagram dan page facebook masih dapat menampung isi dari The Spice Islands sendiri.
Berikut adalah sedikit bincang-bincang antara MP dengan The Spice Islands, mari
kita simak:
Perkenalkan
tentang The Spice Islands dengan tagline: Remember Your Roots, sebenarnya apa
yang menjadi visi dari The Spice Islands?
Alangkah retorisnya kalau mau bilang bahwa dari
awal The Spice Islands (kemudian disingkat TSI) ini hadir dengan membawa
visi-misi besar-besar. Visi-Misi malahan terbentuk pelan-pelan seiring waktu.
Seiring perbanyak ‘dudu carita-carita’ juga, lalu TSI berkembang jadi seperti
yang sekarang ini.
Awalnya, proyek TSI ini cuma
proyek ‘pelampiasan’ kreatifitas saja; Karena punya banyak desain yang
bertemakan Maluku dan seringkali tadudu saja, ba’abu dan seng jadi apa-apa (seringkali
terbengkalai, berdebu, dan tidak jadi apa-apa). Lalu, muncul pikiran: “bagemana kalo orang
lain ternyata ada yang suka desain-desain ni? Kanapa seng coba kasi kenal par
orang lain juga?” (bagaimana kalau orang lain ternyata ada yang suka
dengan desai-desain ini? Kenapa tidak coba untuk mengenalkannya kepada orang
lain juga?)
Seiring waktu berjalan, barulah
visi dan misi jadi mulai ‘jadi’; Sebenarnya TSI cuma mau memposisikan diri
sebagai ‘provokator’ untuk orang Maluku maupun yang bukan orang yang berasal
dari Maluku untuk lebih menggali perihal simbol dan sejarah Maluku. Syukur sekali kalau ‘provokasi’ yang kita lakukan berhasil. Karena TSI sebenarnya mengharapkan orang jadi terpicu untuk menggali lebih dalam soal sejarah mereka; bahkan kalau perlu sampai dengan sejarah negeri, mata-rumah, atau bahkan marga.
Banyak sejarah yang bagi orang-orang Maluku –perantauan terutama atau yang sudah tinggal lama di kota Ambon—yang sudah mulai lupa atau bahkan sudah tidak tahu sama sekali; tentu karena sudah makin kurangnya ‘batutur sejarah’ dari orang tua kepada anak (di daerah perkotaan, biasanya) dan juga karena literatur-literatur yang cukup ‘ribet’ untuk ditemukan. Selain itu, zaman sudah mulai berubah, orang sudah mulai tidak tertarik dengan tuturan-tuturan sejarah yang ‘letterlijk’; masih harus membaca buku atau tulisan-tulisan akademis yang sering dianggap kaku. Untuk itu, TSI coba akali situasi ini dengan menghadirkan sejarah maupun simbol-simbol dalam ‘bungkus’ yang lebih ‘modern’ dan dirasa cocok dengan ketertarikan orang-orang masa kini, tapi, dalam ‘penuturan’ yang sederhana dan sedapat mungkin tidak terlalu jauh dari esensi awal dari apa yang coba dihadirkan.
Banyak sejarah yang bagi orang-orang Maluku –perantauan terutama atau yang sudah tinggal lama di kota Ambon—yang sudah mulai lupa atau bahkan sudah tidak tahu sama sekali; tentu karena sudah makin kurangnya ‘batutur sejarah’ dari orang tua kepada anak (di daerah perkotaan, biasanya) dan juga karena literatur-literatur yang cukup ‘ribet’ untuk ditemukan. Selain itu, zaman sudah mulai berubah, orang sudah mulai tidak tertarik dengan tuturan-tuturan sejarah yang ‘letterlijk’; masih harus membaca buku atau tulisan-tulisan akademis yang sering dianggap kaku. Untuk itu, TSI coba akali situasi ini dengan menghadirkan sejarah maupun simbol-simbol dalam ‘bungkus’ yang lebih ‘modern’ dan dirasa cocok dengan ketertarikan orang-orang masa kini, tapi, dalam ‘penuturan’ yang sederhana dan sedapat mungkin tidak terlalu jauh dari esensi awal dari apa yang coba dihadirkan.
Beberapa
hashtag yang digunakan di setiap postingan yang diunggah di media sosial yaitu
#CultureKeeper, #GoOld, #JariMeme, #Lear, dan #TauKaTrada ini menarik. Apakah
ini kemudian dapat 'menjembatani' tagline dari The Spice Islands sendiri
sebagai cutural movement kepada publik yang membaca?
Sangat diharapkan bisa
menjembatani. Tagar-tagar itu semacam ‘kategorial’ dari
serial-serial yang coba dihadirkan. Selain itu, tagar-tagar itu juga menjadi
semacam ruang yang lebih kecil dari tagline
besar yang TSI usung. Misalnya, #GoOld yang fokus ke foto-foto lama Maluku
(dibantu Abang Almascatie—yang
cukup ahli dalam mewarnai foto-foto lama yang masih hitam putih), #JariMeme yang
dihadirkan dalam bentuk komik-strip satir mengenai keadaan sosial Maluku, #Lear
lebih membahas musik-musik yang bertemakan Maluku (dibantu oleh Abang
Morika Tetelepta—untuk saat ini program ini sedang vakum), dan #TauKaTrada yaitu program rutin setiap
Sabtu yang membahas mengenai sejarah dari Maluku dan coba disampaikan sesingkat
serta seringan mungkin. (Walau kadang masih dianggap panjang oleh sebagian
orang HAHAHAHA).
Beberapa
konten yang ditampilkan oleh The Spice Islands beberapa edisi terakhir ini
mengangkat tentang Ternate, kira-kira apakah ada alasan khusus di sini? dan
apakah setelah edisi Ternate dan Maluku Utara, The Spice Islands berencana
untuk mengangkat edisi lainnya juga?
Secara tidak sengaja, sewaktu
membaca buku Kepulauan Rempah-rempah karya M. Adnan Amal, kita
menemukan banyak
irisan dengan sejarah daerah Maluku (selain Maluku Utara) secara keseluruhan.
Untuk itulah, TSI coba menghadirkan sejarah
(kerajaan-kerajaan)
Maluku Utara untuk diketahui oleh orang-orang Maluku yang lain dan terutama
supaya sejarah Maluku tidak dipahami sebagai satu hal yang parsial (Maluku
tengah sendiri, Maluku Utara sendiri, Maluku Tenggara sendiri, dlsb). Awalnya, konten-konten yang TSI
hadirkan banyak terfokus di Ambon dan Pulau Seram (ditakutkan TSI jadi Maluku Tengah-sentris,
dan ini sedapat mungkin kita hindari).
Untuk itulah, saat ini TSI coba bergeser dan coba memberikan sudut pandang baru
tentang sejarah Maluku.
Berikutnya setelah
topik Maluku Utara selesai, mau fokus ke sejarah atau hal-hal yang membahas
mengenai Maluku Tenggara, Teon Nila Serua, Buru, dan Banda. Sialnya, susah
sekali bisa dapat bahan-bahan literaturnya.
Sekarang
ceritakan tentang 'project merchandise' yang dikeluarkan oleh The Spice
Islands, setelah edisi Tanimbar, Christina Martha Tiahahu (barangkali ada
beberapa yang saya kelewat) dan yang akan datang adalah Sapili & Guelder,
apakah sebelumnya ada riset khusus untuk merchandise yang hendak dikeluarkan
oleh The Spice Islands?
Kalau desain, semua bermulai dari
ide visual saja sebenarnya. Tapi lebih sering juga karena pertemuan-pertemuan tidak disengaja dengan
hal-hal yang kita
rasa menarik ketika membaca teks-teks mengenai Maluku. Riset tetap dilakukan
untuk detail-detail kecil mengenai riwayat sejarah/simbol apa yang hendak
diproduksi. Dari
Riset, baru kemudian desain digodok lagi dengan hasil riset, barulah jadi
desain final yang kemudian TSI produksikan.
Sapili dan Guelder salah satu produksi merchandise terbaru dari The Spice Islands, silakan pesan via instagram @thespiceislands atau page facebook The Spice Islands
Dapat dikatakan bahwa The Spice Islands adalah sebuah platform kreatif untuk memperkenalkan tentang budaya Maluku kepada Indonesia, apakah ini dirasa sebagai sebuah tanggung jawab provokatif sebagai anak muda Maluku untuk melakukannya? Bagaimana pendapat The Spice Islands ketika melihat perkembangan potensial terhadap dunia kreatif dari anak-anak muda Maluku pada saat ini?
Kita pikir, rasa tanggung jawab bisa bertumbuh
kalau diawali dengan rasa sayang
lebih dulu, dan rasa sayang
tumbuh kalau diawali dari rasa penasaran.
Rasa penasaran inilah yang coba kita
‘provokasi’-kan terus menerus. Kalau boleh mengutip lagu-nya Molucca Hip-hop Community
(MHC) yang berjudul Puritan, ada lirik yang paling provokatif: “Apa itu
Maluku? Apa
itu satu?
Apa Nunusaku? ... Siwalima
ada bukang par cuma-cuma, dolo akang rasa, sakarang seng sama... ” bagian
inilah yang sebenarnya yang jadi pemicu untuk terus bertahan dengan proyek TSI ini.
Dari yang kita lihat, bidang kreatif
(terutama dari generasi muda) Maluku tahun-tahun belakangan berkembang cukup
pesat; dari bidang ekonomi kreatif terutama. Banyak sekali kreativitas baru
yang coba muncul dan melawan-atau-memarodikan simbol-simbol ‘kreativitas’ arus mainstream. Tapi, ketika kreativitas muncul, halangan
(dari regulasi, terbatasnya sokongan pemerintah,
atau hil-hal mendasar seperti keterbatasan modal, dan yang paling parah: kecenderungan
menutupi diri dari keinginan untuk belajar hal-hal baru karena merasa sudah
tahu banyak) juga bersamaan muncul. Nah,
halangan ini yang seringkali bikin layu-sebelum-berkembang. Padahal, kreatif (creative) sendiri bermula
dari membuat
(create)—atau kalau orang katong bilang
akang: biking. Biking saja, biking tarus, jang layu, musti barani tabrak arus,
kalo seng, maka katong akan tinggal deng arus itu saja, seng berubah-berubah.
Sudah
sejak lama kita selesai dengan pemahaman bahwa "Membangun Maluku"
adalah dengan pulang kembali ke Maluku dan melakukan sesuatu di sana. Tapi kini
rasanya, kita dapat "Membangun Maluku" di mana saja kita berada,
bagaimana pendapat The Spice Islands dengan ini?
Ada benarnya, dan kita cukup setuju (walau tidak setuju-setuju sekali) dengan pendapat ini. Kita rasa, membangun memang bisa dari
jauh, tapi membangun dari jauh saja tidak cukup. Harus ada tatap-muka (karena cinta tumbuh
dari pertemuan demi pertemuan. Tsah. HAHAHA) Harus turun, harus
bersentuhan, minimal harus berjejaring secara fisik kalau mau membangun secara
kongkrit; gabung kekuatan kolektif, tahu apa yang mau diubah atau dibangun, rancangkan,
baru terakhir eksekusi.
Sebutkan
tempat-tempat favorit dari The Spice Islands jika sedang pulang atau berada di
Maluku ( atau kota Ambon) dan kenapa?
Dari semua pertanyaan, ini
pertanyaan paling susah. Dari ujung Halmahera sampai
Tenggara Jauh. Semua lini Maluku itu favorit: dari Teluk Ambon yang sering
dibingkai sampah sampai puncak Binaya yang manis sekaligus mistis. Karena
Maluku itu penuh dengan misteri yang belum terpecahkan, sejarah-sejarah yang
belum diketahui, cerita-cerita yang belum dituturkan, budaya-budaya dan
kebiasaan-kebiasaan belum dikenali; Maluku itu bikin penasaran.
Tapi, karena harus menjawab maka
jawabannya adalah; Rumah (rumah masing-masing kita—orang-orang di belakang TSI—semua).
Klise memang, tapi kalau bukan rumah, apa lagi yang bisa bikin kita ingin untuk pulang?
Comments
Post a Comment