Bicara
soal perkembangan film apalagi dokumenter, saat ini dapat dikatakan lumayan
marak, bahkan kawan Ipank dengan film Banda pun mengambil jalur itu. Nah, apakah
kawan-kawan dari BaileoDOC tetap percaya
untuk ada di jalur dokumenter? dan bagaimana komentar kawan-kawan BaileoDOC
soal masa depan dokumenter di Indonesia pada umumnya dan di Maluku pada
khususnya?
Saat ini BaileoDOC
masih tetap percaya pada kekuatan dokumenter sebagai medium untuk berkarya dan
berkontribusi bagi kerja-kerja kebudayaan. Tahun ini, BaileoDOC memproduksi
sebuah film berjudul Pendayung Terakhir yang disutradari oleh Ali B Kilbaren,
mahasiswa IAIN Ambon. Film ini mencoba membuka ruang diskusi dan turut
mengkritisi kebijakan pemerintah yang menganak-tirikan para pendayung perahu
yang beroperasi di bawah jembatan Merah Putih. Sutradaranya, Ali, memandang
kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada pembangunan infrastruktur dan
melupakan pekerja kecil seperti pendayung perahu. Padahal 200 kepala keluarga
bergantung pada mata pencaharian ini. Dan fakta menarik lainnya, para pendayung
ini, telah beroperasi sejak tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia merdeka.
Artinya ini merupakan modal transportasi massa yang dapat diklaim sebagai yang
tertua dan masih beroperasi hingga kini. Film ini dikerjakan serius selama
setahun dan sedang berkompetisi di beberapa festival film tanah Air. Doakan
semoga lolos.
BaileoDOC memandang
kerja dokumenter sebagai kerja yang melelahkan tetapi juga candu. Dalam
setahun, kemampuan kami memproduksi film hanya satu film, dan bisa dua film
jika sedang banyak duit. Hal ini dikarenakan, proses produksi dikerjakan dengan
biaya sendiri serta swadaya bersama kawan komunitas film yang lain. Beberapa
kali kami mencoba mencari pendanaan lewat forum pendanaan yang ada di festival
akan tetapi hasilnya nihil karena kerasnya persaingan, juga isu yang dipandang
tidak begitu bombastis bagi pendonor. Oh iya, dari festival
dan forum pendanaan kami belajar satu hal tentang bagaimana festival dan forum
pendanaan memandang Ambon, sebagai basis isu yang kami angkat
yakni isu konflik dan perdamaian. Sampai
saat ini, isu ini masih dipandang dan relevan bagi pendonor maupun festival. Memang
bukan hal keliru, hanya saja, memandang Ambon dengan segala kerumitannya, jika
bertolak dari konflik 1999 tentu membuat kami sebagai pembuat film merasa jenuh.
Tak ada karpet merah
bagi dokumenter. Pameo ini relevan dengan kondisi dokumenter Indonesia bahkan
Maluku, khususnya. Berbeda dengan film-film fiksi pendek maupun feature-length,
film dokumenter tidak mendapat tempat di penonton Indonesia. Alasannya sederhana,
budaya menonton Indonesia masih terpengaruh film-film popcorn ala hollywood
yang menghibur dan mendidik kalau dirasa perlu. Dengan segala bentuk, gaya dan isu
serta prestasi dokumenter Indonesia yang kian baik, film-film dokumenter tetap
hanya dinikmati kalangan tertentu. Paradigma dan budaya menonton masyarakat Indonesia seperti ini yang seharusnya diubah. Kami mengapresiasi Jay dan
kawan-kawan Banda The Dark Forgetten Trail yang berani menyajikan dokumenter
dengan bentuk baru dan tampil dengan promo yang bahkan setara dengan film-film
fiksi panjang yang sama beredar di bioskop.
Dalam konteks Ambon,
atau Maluku, produksi film, baik fiksi maupun dokumenter masih terbilang
sedikit. Padahal capaian teknologi dan bahan cerita yang begitu banyak seharusnya
membuat anak-anak muda berlomba membuat film. Akan tetapi kesadaran dan minat
dalam bidang ini belum begitu terlihat. Sebagian kecil telah memulai, dan kami
berbahagia karena semakin banyak kawan dan bergelut dalam minat yang sama.
Ada satu buah film berjudul Musera yang
beta sempat lihat di instagram? bisa ceritakan juga tentang proyek film ini?
film ni menceritakan tentang apakah? dan siapa saja yang bakal terlibat di
dalam film ini?
Soal Musera, film ini
sebenarnya masih dalam tahap pitching di CGV Movie Project. Skrip ini telah
diselesaikan sejak awal tahun ini oleh Rifky, dan masih dalam tahap
pengembangan. Ketika skrip selesai ditulis kami mencari pendonor untuk
memproduksi film ini dan secara kebetulan CGV Movie Project sedang mencari ide
orisinal untuk didanai dan kemudian difilmkan. Ide cerita Musera
berangkat dari cerita seorang kawan yang berasal dari Pulau Marsela yang
berkisah tentang sulitnya di hidup di pulau yang sebentar lagi akan jadi ladang
gas paling kaya di Indonesia. Musera atau burung hantu, merupakan tugas adat
yang dipercayakan kepada seorang pria untuk menyampaikan kabar duka kepada
keluarganya yang tinggal di desa lain di pulau Marsela. Kesulitan akses
komunikasi dan transportasi membuat tugas ini jadi begitu penting bagi
masyarakat di sana.
Kami teringat kutipan
Gubernur Maluku yang baru-baru saja ini viral, walaupun termiskin keempat tapi
paling bahagia diurutan kedua (haha). Kami tak ingin mengisahkan bagaimana
orang hidup di pulau miskin dan mengeksploitasi alasan-alasan yang memiskinkan
mereka. Kami percaya setiap orang dapat beradaptasi dan hidup dalam kondisi
tersulit sekalipun. Tetapi cerita bagaimana mereka mati, apa yang menyebabkan
mereka mati dan seperti apa orang-orang yang "dimiskinkan" itu
menjalani proses-proses menuju mati, menjadi penting untuk diceritakan kepada
Indonesia. Di film ini, Ali B
Kilbaren dipercayakan menjadi Sutradara. Ini film fiksi pendek pertamanya jika
lolos. Rifky Husain sebagai penulis, Slamat Tamnge sebagai pengarah kamera, dan
Fahcrun Burhan sebagai editor.
Ceritakan tentang rencana reguler dari
BaileoDOC? apakah akan dilakukan lagi pemutaran film dokumenter dan diskusi?
atau ada rencana-rencana menarik lainnya?
Selain produksi film dan
forum apresisasi, tiap tahunnya BaileoDOC secara reguler mengirim beberapa
anggota untuk mengikuti program pelatihan perfilman yang diadakan oleh Pusbang
Film Kemendikbud. Tahun ini ada 8 orang yang diberangkatkan untuk mengikuti
workshop penyutradaraan, sinematografi dan penulisan naskah. Juga sejak Maret lalu,
kami telah menjalankan program roadshow ke sekolah-sekolah yang ada di Ambon dan
Maluku Tengah. Pada Bulan Oktober nanti, BaileoDOC akan menggelar roadshow ke
sekolah-sekolah yang ada di jazirah Leihitu. Ini sebagai bagian dari program
workshop dan NgoFi keliling desa. Rencananya ini akan dibuat reguler tergantung
kondisi kantong BaileoDOC dan rencana abadi meminang gadis dari para
penggiatnya.
Untuk tahun depan ada
dua agenda besar kami yang sempat tertunda yakni: Pekan Film Pendek dan
Festival Film Ambon un Scene. Saat ini sedang dibahas serius dan masih menunggu
lampu hijau dari pihak Pusbang Film Kemendikbud untuk mendanai.
Comments
Post a Comment