Molucca Project beberapa kali hanya mengikuti perkembangan
sepotong-sepotong tentang NgoFi melalui media sosial. Sebuah acara obrolan
tentang film yang diadakan di beberapa kafe di kota Ambon. Dan baru sekarang,
akhirnya punya kesempatan mengobrol dengan kawan-kawan dari BaileoDOC, walaupun
hanya via email, tapi semoga obrolan singkat mengenai apa itu ngoFi? film-film
apa saja yang pernah diputar di NgoFi? dan apakah ada pembicara yang pernah
diundang untuk datang ke NgoFi? bagaimana proses diskusi berjalan? ada
tantangan ketika menjalankan ngoFi? semoga bacaan ini dapat memberikan sebuah angin segar kepada
penggemar film khususnya dokumenter di kota Ambon, dan sekaligus mau mengundang
penggiat dokumenter di seluruh Indonesia, jika hendak memutar film kalian,
silakan kirim email ke baileodoc@gmail.com.
NgoFi atau Ngobrol Film adalah forum
apreasiasi film alternatif yang diinisiasi oleh tiga komunitas film yakni
BaileoDOC, Obscura Alhazen dan Beta Films, untuk menampilkan film-film buatan
anak Indonesia. Bukan hendak melawan dominasi bioskop, akan tetapi kondisinya
saat ini, layar-layar yang tersedia di jaringan bioskop besar seperti XXI &
CGV tidak menyediakan tempat bagi film-film indie walaupun dengan kualitas yang
baik dan diterima oleh penonton Indonesia. Sejak awal NgoFi, memposisikan diri
dengan menampilkan film-film yang dikurasi dengan tematik atau berdasarkan
kerjasama dengan pihak-pihak yang ingin menampilkan karyanya di Ambon.
Ide NgoFi secara garis besar telah
dibicarakan serius sejak tengah tahun 2016
dan baru mulai menggelar pemutaran pada tanggal 21 Januari 2017 bertempat di
Cafe Oenew. Pada NgoFi volume #1, tema yang bicarakan "Membaca Arus Sinema
Indonesia Timur". NgoFi melihat hal ini penting dibicarakan melihat geliat
sinema Indonesia Timur yang kian berkembang. Film yang diputar saat itu, Sepatu
Baru (Aditya Ahmad, Makassar), Baju Bola (Piet Manuputty, Ambon) dan Halaman
Belakang (Yusuf Radjamuda, Palu). Ketiga film ini dinilai representatif
mengutarakan perkembangan dan pencapaian film-film yang ada di regional
Indonesia Timur dan Piet Manuputty, sutradara Baju Bola diundang untuk tampil
sebagai pembicara.
NgoFi volume #2 bertema "Memahami
Keindonesiaan Kita Lewat Sinema", film yang diputar saat itu Cheng Cheng
Po (BW Purbanegara, Jogja) dan CinTA (Steven Facius, Jakarta). Tampil sebagai
pembicara, Dr. Abdul Manaf Tubaka, Antropolog IAIN Ambon. Saat mendiskusikan
dua film ini, penonton begitu antusias karena dapat dikatakatan relevan dengan
isu saat itu yakni kasus Ahok di Jakarta. Adu argumen dan kritik terjadi saat
melihat film CinTa merepresentasikan cinta beda agama antara etnis Tionghoa dan
Muslim.
Ngofi Volume #3 bekerja sama dengan Fourcolors, sebuah rumah produksi yang berbasis di Jakarta, untuk menampilkan Turah (Wicaksono Wisnu Legowo, Tegal). Tema saat itu "Mendiskusikan Turah" dengan mengundang sutradaranya, Wisnu, untuk berkomentar dan menanggapi pertanyaan penonton via skype.
Ngofi Volume #4 bekerja sama dengan
Pintoo, jejaring distribusi film yang berbasis di Jakarta untuk memutar karya
Kamila Andini berjudul Memoria. Film ini menceritakan tentang perempuan dan
kekerasan seksual dan dirasa sangat representatif mewakili tema "Perempuan
dalam Sinema". Saat ini NgoFi sedang vakum. Faktor kesibukan tim dan
kesulitan mengakses film-film bagus yang sesuai dengan tema yang telah dikurasi
jadi penyebab lain.
Tantangan lainnya adalah biaya
operasional dan jumlah penonton. NgoFi sadar, sebagai forum alternatif capaian
penonton tentu bukan yang utama akan tetapi, untuk pembiayan operasional
menjalankan NgoFi masih bergantung pada distribusi penjualan tiket dan sumbangan-sumbangan
kawan-kawan lain. Pada dua pemutaran NgoFi yang terakhir, keuntungan penjualan
tiket dibagi bersama pihak pembuat film dan jejaring distribusi dengan besaran
70:30. 70 persen untuk pembuat dan 30
persen untuk NgoFi. Sayangnya, banyak dari penonton, terutama yang berbasis di
kota Ambon belum menyadari skema pembagian ini dan merasa bioskop berbayar
dengan tontonan yang layak dan menghibur hanya didapat di jejaring bioskop XXI.
Comments
Post a Comment